Beberapa ahli psikologi keluarga mengingatkan bahwa rasa pengkhianatan dalam pernikahan dapat meninggalkan trauma yang memengaruhi hubungan kepercayaan, bahkan hingga berdampak pada cara seseorang memandang dirinya dan kehidupannya di masa depan.
Selain itu, anak-anak dalam keluarga tersebut juga bisa terkena dampak emosional, karena konflik rumah tangga kerap menyeret mereka ke dalam situasi yang membingungkan secara psikologis dan mempengaruhi perkembangan mental.
Karena itu, pernikahan yang tidak transparan berpotensi mengubah struktur dan kehangatan keluarga, menjadikan rumah tangga bukan lagi sumber kenyamanan, melainkan arena kekecewaan dan ketidakpastian.
BACA JUGA:Jangan Keburu Panik! Ternyata Ini Alasan PIP SD Tak Kunjung Cair, Cek Lewat HP dalam 1 Menit!
Keputusan menikah lagi sebaiknya dilakukan melalui musyawarah, komunikasi terbuka, dan sikap menghormati perasaan istri pertama sebagai pendamping hidup yang telah melalui banyak perjalanan bersama.
Dengan cara ini, pernikahan kedua tidak menjadi tindakan yang menimbulkan penderitaan bagi pihak lain, tetapi justru dapat dipahami sebagai keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang dan kesadaran penuh akan tanggung jawab besar yang menyertainya.
Kejujuran menjadi pilar yang mampu menjaga keluarga tetap berjalan meski struktur rumah tangga berubah, sebab kepercayaan adalah fondasi keberlangsungan pernikahan jangka panjang.
Rumah tangga yang dijalankan dengan niat baik, keterbukaan, kebijaksanaan, dan sikap saling menghormati akan lebih dekat pada keberkahan, ketentraman, dan hubungan yang adil bagi seluruh anggota keluarga.